Menyimpan dan menganalisa data memanfaatkan teknologi komputasi awan (cloud computing) dapat menghemat biaya serta lebih efisien.
Menurut Nasional Technologi Officer Microsoft Indonesia Tony Seno Hartono, penggunaan cloud untuk penyimpanan data sudah lumrah di luar negeri, namun belum diterapkan secara luas di Indonesia.
“Ini masalah edukasi,” kata Tony dalam Cloud Computing Master Class di Jakarta, Kamis (31/3).
Tony memberikan perbandingan signifikan antara biaya memakai cloud dan penyimpanan sendiri tanpa komputasi awan di Meksiko.
“Pakai cloud biayanya 40.000 dolar AS per tahun, kalau bikin sendiri 10 juta dolar AS per tahun,”
Bila menggunakan server biasa, butuh biaya tambahan seperti listrik serta memakan ruang untuk menyimpan perangkat-perangkat keras di data center.
Sedangkan cloud bagaikan penyimpanan yang elastis dan ukurannya berubah sesuai kebutuhan data. Karena bentuknya virtual, komputasi awan tidak butuh ruang server. Biaya yang dibayar pun sesuai kebutuhan.
Meski terlihat seperti satu sumber penyimpanan bagai awan di langit, lokasinya bisa bervariasi.
Maka, bila ada gangguan di satu lokasi, masih banyak tempat lain yang bisa diandalkan. Cloud juga menjadi jawaban untuk menghindari server down karena diakses banyak orang dalam satu waktu.
Teknologi cloud bisa menyimpan data yang dapat diakses di mana saja dan kapan saja.
Pengguna bisa mengobah konten data dalam cloud secara langsung. Secara otomatis, perubahan itu juga bisa diketahui dan diakses oleh pengguna lain yang punya akses ke data itu tanpa harus saling mengirim data baru.
Kendala pemerintah
Head of IT Development Jakarta Smart City Prasetyo Andy Wicaksono mengatakan hal senada.
“Kami memang pernah menghitung dari kebutuhan, ternyata lebih efisien ketika menggunakan cloud,” kata pria yang akrab disapa Pau itu.
“Tapi sekarang kami baru memakai cloud untuk pengembangan,” imbuh dia.
Salah satu kendala pemerintah dalam memanfaatkan cloud adalah soal regulasi yang mengharuskan penyimpanan itu harus berada di Indonesia karena khawatir soal keamanan.
Tony mengatakan ini bisa diatasi dengan hybrid cloud, yakni kombinasi public cloud dan private cloud.
Semua data negara yang penting dan sensitif dapat disimpan di private cloud di mana server berada di dalam negeri karena dikelola sendiri. Sementara, data lainnya bisa disimpan di public cloud yang lokasi servernya ada bervariasi, tidak harus di Indonesia.
Menurut Tony, keamanan cloud tidak perlu dikhawatirkan karena sudah ada standar sertifikasi yang menjamin data tidak akan hilang atau dicuri. Data dipastikan aman selama penyedia layanan cloud sudah tersertifikasi.
Lebih aman menyimpan data di server Indonesia atau di luar negeri?
Tony menganalogikan ini seperti menyimpan uang di lemari atau bank.
Menyimpan di server dalam negeri bagai menaruh segepok uang di lemari dalam rumah. Kita bisa melihat keberadaan data itu dan lokasinya terjangkau.
“Tapi apa kita bisa mengetahui kalau ada 1-2 lembar yang hilang? Bagaimana kalau ada rampok?”
Sedangkan menaruh di server luar sama seperti menyimpan uang di bank. Harta yang kita titipkan tidak bisa dilihat mata, namun bank punya sistem keamanan sendiri serta memberi laporan keuangan secara berkala.
sumber : antaranews