Mengantisipasi masa pengenalan lingkungan sekolah, pekan lalu Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengundang Dewan Pendidikan Provinsi dan Wilayah, bersama dengan kepala sekolah SD, SMP, dan SMA/SMK di wilayah DKI Jakarta, untuk membahas persoalan bullying.
Di komunitas sekolah, khususnya di jenjang SMA/SMK, istilah bullying tidak lagi asing. Ngebully bahkan sudah jadi bahasa gaul.
Di beberapa sekolah, para siswa (lama) menerapkan bullying itu dalam berbagai aturan tingkah laku (code of conduct) tak tertulis yang harus ditaati para siswa baru: murid kelas 10 di SMA/SMK. Pekan orientasi menjadi tempat sosialisasi.
Bentuknya macam-macam. Sekadar contoh: ”lorong di situ tidak boleh dilewati anak-anak kelas 10”, ”rambut siswi kelas 10 harus diikat di belakang dengan karet”, atau ”anak-anak kelas 10 tidak boleh melihat ke atas kalau lewat di bawah kelas 12 (untuk sekolah yang bertingkat)!”
Meski tampaknya sekadar larangan, sesungguhnya itu adalah upaya menghilangkan karakter kebersamaan dari wilayah sekolah. Ada pagar-pagar untuk membuat wilayah-wilayah tertentu dengan hak-hak istimewa.
Di sebuah sekolah, misalnya, saat jam istirahat, ada praktik siswa kelas 12 memetik daun apa saja di halaman sekolah, lalu memanggil anak kelas 10. ”Nih (sambil memberikan daun), belikan gue mi! Jangan lupa, kembalian- nya 10 ribu!”
Pengertian ”bullying”
Menurut kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1991), kata bully berasal dari kata bahasa Belanda Abad Pertengahan, boele, yang artinya ’kekasih atau jantung-hati’.
Ada nuansa getaran jiwa dalam ungkapan itu. Baru sekitar abad XVII, kata itu menjadi ungkapan untuk menggambarkan perilaku negatif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka panjang oleh seorang yang merasa lebih kuat kepada orang lain yang dianggap lebih lemah.
Sifat perilaku negatif ituagresif, dengan kontak fisik, kata-kata atau cara-cara lain, seperti gerakan raut muka atau anggota tubuh yang bersifat cabul atau tidak sopan.
Dalam praktik, bullying dapat dilakukan dengan menyerang langsung dan terbuka, atau secara tidak langsung, yakni melakukan isolasi sosial atau penyingkiran dari kelompok (D Olweus, 1993). Corak terakhir ini banyak terjadi di Asia.
Di Jepang istilahnya ijime, artinya bersikap seakan-akan korban tidak eksis atau tidak ada. Di Jawa, disebut njothak, artinya tidak mau bertegur sapa karena lawan dialog ”tidak ada”.
Kerangka bullying adalah ketidakseimbangan kekuasaan yang disertai perasaan khusus. Maka, biasanya korban bullying itu ”dipilih”, entah karena ada keanehan atau kekhususan, atau karena dinilai tidak bisa atau sulit membela diri, karena untuk jangka waktu lama korban tidak bisa keluar dari lingkungan.
Di sekolah, misalnya, korban terpaksa harus berada di sekolah itu sampai lulus. Mirip dengan keterpaksaan tahanan mendekam di penjara sampai masa hukuman habis (PK Smith et al, 1999).
Meretas ”bullying”
Bullying tidak mudah dihilangkan, apalagi kalau telah menjadi tradisi sekolah. Menurut beberapa studi, bullying terkait dua hal. Pertama, ketidakseimbangan kekuasaan di mana salah satu pihak menjadi takut dan tidak berani jujur.
Kedua, tindak kekerasan terkait dengan perbedaan kemampuan pelaku ataupun korban dalam memproses informasi sehingga pengungkapan emosi moral terhambat (KJR Blair et al, 1995, 1997).
J Sutton dan PK Smith (1999) bahkan mengatakan, sebenarnya pelaku bullying adalah ”pembaca mental” yang pintar. Mereka mampu memanipulasi orang lain.
Unsur struktural dan personal itu membuat intervensi untuk meretas bullying harus menyeluruh dan berkesinambungan. Umumnya, intervensi fokus pada tiga hal: para pelaku bullying, korban, serta lingkungan sekitar.
Bersama stakeholders sekolah, diadakan ceramah dan pelatihan untuk orangtua agar mampu mendeteksi dini tanda-tanda bullying.
Untuk anak-anak ada pelatihan rasa percaya diri, penghargaan martabat manusia, serta keterampilan berteman (H Cowie dan R Olafsson, 2000; L Peterson dan K Rigby, 1999).
Kini, ada beberapa pendekatan baru untuk meretas bullying, yaitu ”menumbuhkan tingkah laku meniru dan mempraktikkan peniruan tersebut dalam aktivitas sosial (imitative and interactive behavior)”.
Dasar pendekatan ini adalah pandangan mengenai tiga kemampuan utama pengembangan anak: (1) kemampuan kontak emosional dengan orang lain, (2) kemampuan berbagi (sharing) pengalaman pribadi, serta (3) kemampuan berkomunikasi antarsubyek.
Ketiga kemampuan itu menjadi semacam batu loncatan untuk menjadikan mereka makhluk sosial. Ketiga kemampuan itu dilatih dengan pembelajaran lapangan melalui permainan bercorak interaktif di mana unsur meniru jadi yang terpenting.
Melalui metode serupa, anak- anak masuk dalam situasi, menyesuaikan pandangan hidup, serta berbagi tujuan hidup dengan orang lain.
Melalui praktik lapangan, terjadi sharing pengalaman emosional, elemen kunci untuk memunculkan empati tanpa sekat-sekat perbedaan atau hak istimewa.
Dalam aktivitas ini, dukungan dari keluarga dibangun dengan melibatkan mereka dalam kesibukan praktik tingkah laku peniruan dan interaktif anak.
Tanpa keterlibatan serupa, apa yang dilakukan anak akan menjadi ”sesuatu yang berada di luar keluarga” yang umurnya akan pendek (K Dautenhahn dan S Woods, 2007).
Pelatihan jurnalistik
Seorang kepala SMA di Jakarta mengatakan, bullying terkait kejujuran anak ataupun orangtua. Bullying tidak akan terhenti apabila anak dan orangtua takut melaporkan secara jujur.
Ranah jurnalistik adalah lingkungan kejujuran. Seorang jurnalis harus jujur terhadap fakta dan terhadap nuraninya. Dua kejujuran terhubung melalui keterampilan berempati. Dengan empati, jurnalis mendekati fakta.
Salah satu kekhususan jurnalistik adalah tiga sisi yang dimiliki. Ia tidak hanya mendekati fakta, meliput, dan menelitinya, tetapi juga mengolah dan menuliskannya untuk kebaikan umum (bonum commune).
Dibutuhkan kemampuan memberi makna dan membangun empati kepada orang lain di luar dirinya demi kebaikan orang lain (masyarakat) itu, bukan kepentingan diri ataupun perusahaannya.
Saat meliput, seorang jurnalis dengan empatinya menjumpai who, what, when dan where. Di sini, ia berhadapan dengan kejujuran fakta.
Ketika mengolah fakta dan menulis (untuk bonum commune orang lain), ia berhadapan dengan why, how, so what, dan what next. Di sini dituntut kemampuan memberi makna.
Pada dasarnya, kerja jurnalistik seperti itu adalah perwujudan praktik pengembangan tiga kemampuan anak (kontak emosional, sharing, dan komunikasi antarsubyek) yang merupakan batu loncatan menjadi makhluk sosial.
Dari sisi ini, praktik jurnalistik—bentuknya pelatihan jurnalistik dengan terjun ke lapangan—dapat menjadi alternatif untuk meretasbullying.
Pengalaman puluhan pelatihan jurnalistik untuk siswa memperlihatkan bahwa empati sosial dan kejujuran para siswa terasah saat mereka meliput ke lapangan, melihat dan merasakan dunia nyata yang sangat berbeda dengan dunia mereka.
Saat mengolah bahan secara bersama dan menuliskannya secara pribadi, mereka dihadapkan pada perspektif hidup yang sedang mereka gumuli dan belum jadi. Perjuangan ini menjadi sebuah kerja keras karena dibatasi oleh deadline.
Dalam seluruh proses tersebut, ternyata para murid merasakan ada kuasa yang beyond kehidupan mereka.
Tanpa disadari terbangun religiositas. Bukankah ini dasar bangunan hidup tanpa bullying?